Saat masih kecil, keluargaku berpindah-pindah
dari satu kota ke kota lain. Selalu saja ada yang sama di kota-kota yang
kudiami, yakni bunyi bedug pertanda waktu salat tiba. Kini aku tinggal di
Surabaya. Bunyi bedug sudah jarang kudengar. Ya, kini bahkan masjid atau
surau-surau di pelosok pun seringkali tak lagi memakai bedug dan
menggantikannya dengan mikrofon.
Akankah lambat laun kita tak akan pernah lagi
mendengar suara bedug di bumi Indonesia? Hanya waktu yang akan menjawab. Di
bawah ini tulisan mengenai sejarah dan asal-usul bedug di Indonesia, kusarikan
dari Majalah Intisari, Oktober 2008, dengan pengeditan tanpa mengubah esensi.
Bedug senantiasa dikaitkan dengan media
panggil peribadatan. Ada pendapat tradisi bedug dikaitkan dengan budaya Cina.
Adanya Bedug dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng Ho abad ke-15. Laksamana
utusan kekaisaran Ming yang Muslim itu menginginkan suara bedug di
masjid-masjid, seperti halnya penggunaan alat serupa di kuil-kuil Budha di
Cina. Ada pula pendapat bedug berasal dari tradisi drum Cina yang menyebar ke
Asia Timur, kemudian masuk Nusantara.
Namun menurut Drs M Dwi Cahyono, arkeolog dari
Universitas Negeri Malang yang melakukan studi bedug di Jawa bersama tim
Sampoerna Hijau, pada masa prasejarah, nenek moyang kita juga sudah mengenal
nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu. Pemakaiannya berhubungan
dengan religi minta hujan.
Kata Bedug juga sudah disinggung dalam kidung
Malat, sebuah karya sastra berbentuk kidung. Susastra kidung berisi
cerita-cerita panji. Umunya ditulis pada zaman Mahapahit, dari kurun waktu abad
ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan, instrumen musik membrafaon
bedug dibedakan antara bedug besar yang diberi nama teg-teg dengan bedug ukuran
biasa.
Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat
komunikasi dan penanda waktu seperti perang, bencana alam, atau hal mendesak
lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah dalam
bahasa Jawa: wis wanci keteg. Artinya ”sudah waktu siang” yang diambil dari
waktu saat tegteg dibunyikan.
Cornelis De Houtman dalam catatan
perjalanannya D’eerste Boek menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah meluas
pada abad ke-16. Ketika komandan ekspedisi Belanda itu tiba di Banten, ia
menggambarkan di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan
dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya
sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk pada
bedug.
Kendati demikian, pengaruh Cina pun tidak
dinafikan. Ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan tali/pasak untuk
merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug Jawa, mirip pada cara yang
digunakan pada bedug di Asia Timur seperti Jepang, Cina, atau Korea. Bukti lain
terlihat pada penampilan arca terakota yang ditemukan di situs Trowulan.
Arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu tampak menabuh tabang-tabang, sejenis
genderang yang terpengaruh budaya timur tengah. Kemungkinannya itulah instrumen
musik yang dimainkan orang-orang Cina Muslim di ibukota Majapahit.
Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan
instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh
kuat dari India dan budaya Semit beragama Islam. Namun diperkenalkan dan
dimainkan oleh masyarakat Cina Muslim.
Jadi, bedug bisa dikatakan contoh perwujudan
akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon, di mana secara
fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik Nusantara dengan
wadistra sejenis dari luar seperti India, Cina, dan Timur Tengah.
Perjalanan bedug memasuki tahapan penting
ketika kemudian menjadi bagian dari tempat peribadatan umat Muslim. Tak ada
yang dapat memastikan kapan dan bagaimana awalnya. Namun jika ingin menacu pada
catatan Cornelis de Houtman, bisa dipastikan mulai terjadinya setelah abad
ke-16. Bedug masuk ke masjid untuk melengkapi kentongan yang sudah ada
sebelumnya. Pada beberapa masjid besar seperti masjid-masjid peninggalan Wali
Songo, kedua alat ini ditemukan berdampingan, misalnya di Masjid Menara Kudus.
Ketika masuk ke tempat peribadatan, bedug yang
semula profan memperoleh tempat terhormat. Di beberapa tempat seperti Masjid
Agung Surabaya, Masjid Ciptarasa Cirebon, dan Masjid Agung Bagelen, bedug
mendapat sebutan ”Kyai atau ”Sang”. Kenyataan yang lain, bedug tua yang rusak
juga tak segera disingkirkan, namun diganti bedug baru yang mendampinginya.
Pemakaian pengeras suara di masjid akhir-akhir
ini telah meminggirkan peran bedug.
0 komentar:
Posting Komentar