Sebuah Tulisan dari seorang Peneliti dan Pengajar di Prodi Fotografi,
FSMR, ISI Yogyakarta; sedang menempuh program Doktoral di Prodi
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa SPs Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Kartini, Fotografi dan Sebuah Estetika Sejarah

Kartini, Kardinah dan Roekmini (Foto Charles & Co., 1901. Sumber: Kartini: Surat-Surat ..., terjemahan Sulastin Sutrisno, 2000)
Kartini, Kardinah dan Roekmini (Foto Charles & Co., 1901. Sumber: Kartini: Surat-Surat ..., terjemahan Sulastin Sutrisno, 2000)
”SESEORANG telah berjanji kepada saya untuk memotret seluruh proses
pertumbuhan padi, termasuk kebau dan pengembalanya. Dan saya yang akan
memberikan semua keterangan mengenai hal itu sebagaimana saya lihat dan
saya rasakan sebagai anak bangsa itu sendiri”
”Kemarin saya berjumpa dengan orangnya, tetapi dia belum dapat memenuhi janjinya karena alat fotonya jatuh di lumpur di sawah”
(Surat Kartini tanggal 17 Februari 1903).
”Kemarin saya berjumpa dengan orangnya, tetapi dia belum dapat memenuhi janjinya karena alat fotonya jatuh di lumpur di sawah”
(Surat Kartini tanggal 17 Februari 1903).
Sosok R.A. Kartini (21 April 1879 - 17 September 1904) tentulah sudah
sangat familiar bagi kita, namanya begitu harum sebagai pejuang
emansipasi wanita, terabadikan dalam nama jalan, gedung, bahkan ada
lagunya. Hingga saat ini, gaung peringatan kelahirannya masih dapat
dirasakan, setidaknya oleh ibu-ibu muda yang harus menyiapkan kostum
khusus bagi anak-anaknya yang masih duduk di Taman Kanak-Kanak. Jika
ditanyakan mengapa semua itu bisa terjadi, salah satunya karena ia
memiliki peninggalan sangat berharga: yaitu surat-suratnya.
Dalam berbagai wacana yang berkembang, sosok Kartini, berkat peninggalan surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat-sahabat pena-nya tidak hanya dimaknai sebagai suara pikiran-pikiran tentang kesetaraan jender, kependidikan dan kemajuan pemikiran wanita Bumiputera, namun juga sempat diinterpretasikan sebagai bentuk manipulasi representasi figur yang dikonstruksikan. Ada anggapan, ia terlalu dimuliakan untuk kepentingan ideologis tertentu sehingga terkesan ”menenggelamkan” figur-figur wanita bumiputera lainnya, misalnya Cut Nyak Dhien dan Dewi Sartika. Bagi saya, monggo sajalah. Toh pada akhirnya sebuah pewacanaan tidaklah berujung pada yang lebih benar, namun pada yang paling meyakinkan.
Tulisan ini tidak akan memasuki pergulatan wacana itu, namun lebih memaknai surat peninggalan Kartini dari sisi yang lain, yaitu sebagai secuil sejarah konseptual fotografi Indonesia, sambil mencoba merasakan aspek guna ekstrinsik sejarah, yang salah satunya dikatakan oleh Prof. Kuntowijoyo sebagai pendidikan keindahan: sejarah sebagai pemicu pengalaman estetis
Dalam berbagai wacana yang berkembang, sosok Kartini, berkat peninggalan surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat-sahabat pena-nya tidak hanya dimaknai sebagai suara pikiran-pikiran tentang kesetaraan jender, kependidikan dan kemajuan pemikiran wanita Bumiputera, namun juga sempat diinterpretasikan sebagai bentuk manipulasi representasi figur yang dikonstruksikan. Ada anggapan, ia terlalu dimuliakan untuk kepentingan ideologis tertentu sehingga terkesan ”menenggelamkan” figur-figur wanita bumiputera lainnya, misalnya Cut Nyak Dhien dan Dewi Sartika. Bagi saya, monggo sajalah. Toh pada akhirnya sebuah pewacanaan tidaklah berujung pada yang lebih benar, namun pada yang paling meyakinkan.
Tulisan ini tidak akan memasuki pergulatan wacana itu, namun lebih memaknai surat peninggalan Kartini dari sisi yang lain, yaitu sebagai secuil sejarah konseptual fotografi Indonesia, sambil mencoba merasakan aspek guna ekstrinsik sejarah, yang salah satunya dikatakan oleh Prof. Kuntowijoyo sebagai pendidikan keindahan: sejarah sebagai pemicu pengalaman estetis
Sosok R.A. Kartini (21 April 1879 - 17 September 1904) tentulah sudah
sangat familiar bagi kita, namanya begitu harum sebagai pejuang
emansipasi wanita, terabadikan dalam nama jalan, gedung, bahkan ada
lagunya. Hingga saat ini, gaung peringatan kelahirannya masih dapat
dirasakan, setidaknya oleh ibu-ibu muda yang harus menyiapkan kostum
khusus bagi anak-anaknya yang masih duduk di Taman Kanak-Kanak. Jika
ditanyakan mengapa semua itu bisa terjadi, salah satunya karena ia
memiliki peninggalan sangat berharga: yaitu surat-suratnya.
Dalam berbagai wacana yang berkembang, sosok Kartini, berkat peninggalan surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat-sahabat pena-nya tidak hanya dimaknai sebagai suara pikiran-pikiran tentang kesetaraan jender, kependidikan dan kemajuan pemikiran wanita Bumiputera, namun juga sempat diinterpretasikan sebagai bentuk manipulasi representasi figur yang dikonstruksikan. Ada anggapan, ia terlalu dimuliakan untuk kepentingan ideologis tertentu sehingga terkesan ”menenggelamkan” figur-figur wanita bumiputera lainnya, misalnya Cut Nyak Dhien dan Dewi Sartika. Bagi saya, monggo sajalah. Toh pada akhirnya sebuah pewacanaan tidaklah berujung pada yang lebih benar, namun pada yang paling meyakinkan.
Tulisan ini tidak akan memasuki pergulatan wacana itu, namun lebih memaknai surat peninggalan Kartini dari sisi yang lain, yaitu sebagai secuil sejarah konseptual fotografi Indonesia, sambil mencoba merasakan aspek guna ekstrinsik sejarah, yang salah satunya dikatakan oleh Prof. Kuntowijoyo sebagai pendidikan keindahan: sejarah sebagai pemicu pengalaman estetis
Dalam berbagai wacana yang berkembang, sosok Kartini, berkat peninggalan surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat-sahabat pena-nya tidak hanya dimaknai sebagai suara pikiran-pikiran tentang kesetaraan jender, kependidikan dan kemajuan pemikiran wanita Bumiputera, namun juga sempat diinterpretasikan sebagai bentuk manipulasi representasi figur yang dikonstruksikan. Ada anggapan, ia terlalu dimuliakan untuk kepentingan ideologis tertentu sehingga terkesan ”menenggelamkan” figur-figur wanita bumiputera lainnya, misalnya Cut Nyak Dhien dan Dewi Sartika. Bagi saya, monggo sajalah. Toh pada akhirnya sebuah pewacanaan tidaklah berujung pada yang lebih benar, namun pada yang paling meyakinkan.
Tulisan ini tidak akan memasuki pergulatan wacana itu, namun lebih memaknai surat peninggalan Kartini dari sisi yang lain, yaitu sebagai secuil sejarah konseptual fotografi Indonesia, sambil mencoba merasakan aspek guna ekstrinsik sejarah, yang salah satunya dikatakan oleh Prof. Kuntowijoyo sebagai pendidikan keindahan: sejarah sebagai pemicu pengalaman estetis
Agar lebih estetis, kita pun bisa berandai-andai, bagaimana jika
ternyata Kartini saat itu sempat memotret? Apakah hasilnya akan seperti
karya-karya Kassian Cephas (1844-1912), sosok yang diyakini sebagai
fotografer bumiputera pertama, yang amat banyak karya fotonya tapi
seakan diam seribu bahasa? Tidak meninggalkan warisan surat-surat
seperti Kartini? Sayangnya, kita tidak pernah tahu. Padahal, pemikiran
dalam untaian kata-kata Kartini tampaknya sangat pas bagi seorang
fotografer sungguhan, yaitu beridentitas dan bervisi fotografi yang
jelas. Itulah sejarah: meminta kita untuk terus berimajinasi dan
menikmati sensasi historik.
Tidak hanya itu, dalam kesempatan lain Kartini juga memberi gambaran kepada kita bagaimana pada masa itu karya-karya fotografi potret digunakan. Bahkan ia juga mengutarakan rasa kagumnya ketika memandangi selembar foto. Kutipan-kutipan berikut ini tampaknya bisa sedikit memberi gambaran:
”Bukankah ajaib sekali, bahwa istri pertama suami saya sampai hari-hari terakhir hayatnya selalu berbicara tentang saya. Dia ingin benar berkenalan dan berteman dengan saya. Cita-citanya pergi ke Jepara, dan membawa anak-anaknya kepada saya. Potret saya sesungguhnya tidak pernah dilepaskan dari tangannya, disimpannya, bahkan sampai ranjang sakitnya yang terakhir” (Surat Kartini 11-November 1903).
”Saya tidak berani mencium Nyonya dalam keadaan berdiri sangat cantik, sangat gagah, dan luhur di hadapan saya! Saya akan menatap Nyonya saja dan silakan membaca sendiri dalam mata saya, betapa dalam rasa terima kasih saya atas hadiah yang bagus itu!
Seperti ratu!” anak-anak berseru serempak, ketika mereka melihat potret Nyonya. Ya, seperti ratu lahiriah, tetapi apa yang terdapat di belakang pakaian yang indah itu, di dalam tubuh yang bagus itu lebih bersifat ratu lagi! Hati yang berdetak di belakang buatan manusia yang indah itu sangat luhur, dan akal yang tersembunyi di belakang dahi yang bagus sangat jernih!” (Surat Kartini, 21 November 1902).
Tidak hanya itu, dalam kesempatan lain Kartini juga memberi gambaran kepada kita bagaimana pada masa itu karya-karya fotografi potret digunakan. Bahkan ia juga mengutarakan rasa kagumnya ketika memandangi selembar foto. Kutipan-kutipan berikut ini tampaknya bisa sedikit memberi gambaran:
”Bukankah ajaib sekali, bahwa istri pertama suami saya sampai hari-hari terakhir hayatnya selalu berbicara tentang saya. Dia ingin benar berkenalan dan berteman dengan saya. Cita-citanya pergi ke Jepara, dan membawa anak-anaknya kepada saya. Potret saya sesungguhnya tidak pernah dilepaskan dari tangannya, disimpannya, bahkan sampai ranjang sakitnya yang terakhir” (Surat Kartini 11-November 1903).
”Saya tidak berani mencium Nyonya dalam keadaan berdiri sangat cantik, sangat gagah, dan luhur di hadapan saya! Saya akan menatap Nyonya saja dan silakan membaca sendiri dalam mata saya, betapa dalam rasa terima kasih saya atas hadiah yang bagus itu!
Seperti ratu!” anak-anak berseru serempak, ketika mereka melihat potret Nyonya. Ya, seperti ratu lahiriah, tetapi apa yang terdapat di belakang pakaian yang indah itu, di dalam tubuh yang bagus itu lebih bersifat ratu lagi! Hati yang berdetak di belakang buatan manusia yang indah itu sangat luhur, dan akal yang tersembunyi di belakang dahi yang bagus sangat jernih!” (Surat Kartini, 21 November 1902).
Terakhir, mungkin ini bisa membuat kita sedikit tersenyum. Ternyata
Kartini juga sempat menyebutkan adanya takhayul fotografi yang
menggenggam otak para inlander di perkampungan sekitar Jepara. Suatu
ketika Kartini menulis:
”Pada mulanya juga amat banyak susah untuk membuat beberapa potret di kampung. Menurut takhayul, hal itu akan memendekkan hidupnya sendiri kalau orang menyuruh membuat potret dirinya. Dan tukang potret itu berdosa sekali, semua potret yang dibuatnya akan minta nyawa-nyawa kepadanya di akhirat.
Ketika kami dengan tukang potret datang di sebuah kampung, beberapa orang perempuan mulai menangis. Tetapi ketika akhirnya ada seorang pemberani, yang berani, mereka mengering.kan air matanya. Dan ketika kami kembali sekali lagi, mereka menawarkan diri untuk dipotret”. (Surat Kartini, 5 Maret 1902)
Tampaknya, takhayul fotografis itu hidup sebagai wujud penegasan larangan menggambar makhluk bernyawa yang diwacanakan oleh para juru dakwah. Takhayul ternyata menjadi wacana ampuh untuk membenamkan pesan kepada masyarakat yang sangat awam. Jika demikian, apakah tatapan kosong dari mata-mata para inlander yang terpotret juga ada kaitannya dengan takhayul tadi? Marilah kita berkhayal! Lantas, dari mana pula datangnya takhayul foto bertiga?
Demikianlah, melalui tulisan ini kita melihat bagaimana sebuah artefact, bisa saja mengandung mentifact dan sosifact yang sangat berharga bila kita mau memaknainya dengan cara baca tertentu. Ya, untuk permulaan, bolehlah kita memahaminya secara terbatas: sejarah sebagai sesuatu yang estetis.
”Pada mulanya juga amat banyak susah untuk membuat beberapa potret di kampung. Menurut takhayul, hal itu akan memendekkan hidupnya sendiri kalau orang menyuruh membuat potret dirinya. Dan tukang potret itu berdosa sekali, semua potret yang dibuatnya akan minta nyawa-nyawa kepadanya di akhirat.
Ketika kami dengan tukang potret datang di sebuah kampung, beberapa orang perempuan mulai menangis. Tetapi ketika akhirnya ada seorang pemberani, yang berani, mereka mengering.kan air matanya. Dan ketika kami kembali sekali lagi, mereka menawarkan diri untuk dipotret”. (Surat Kartini, 5 Maret 1902)
Tampaknya, takhayul fotografis itu hidup sebagai wujud penegasan larangan menggambar makhluk bernyawa yang diwacanakan oleh para juru dakwah. Takhayul ternyata menjadi wacana ampuh untuk membenamkan pesan kepada masyarakat yang sangat awam. Jika demikian, apakah tatapan kosong dari mata-mata para inlander yang terpotret juga ada kaitannya dengan takhayul tadi? Marilah kita berkhayal! Lantas, dari mana pula datangnya takhayul foto bertiga?
Demikianlah, melalui tulisan ini kita melihat bagaimana sebuah artefact, bisa saja mengandung mentifact dan sosifact yang sangat berharga bila kita mau memaknainya dengan cara baca tertentu. Ya, untuk permulaan, bolehlah kita memahaminya secara terbatas: sejarah sebagai sesuatu yang estetis.
Semoga sadarlah kita bahwa surat-surat Kartini itu amat kaya informasi,
bukan sekadar masalah emansipasi perempuan. Kedepan, interpretasi
artefak sejarah fotografi Indonesia tampaknya bisa lebih dikembangkan
untuk sesuatu yang lebih produktif: tidak sekadar menemukan guna yang
estetis, namun juga guna pendidikan masa depan. Selain surat-surat
Kartini, tentu masih banyak lagi artefact-artefact yang telah lama
menanti untuk dibaca, dipahami, dan dihayati guna rekonstruksi masa lalu
fotografi Indonesia. Sejarah fotografi tampaknya belum pernah digarap
secara serius oleh kita, anak bangsa yang bila dikatakan dalam ”bahasa”
Kartini: aduhai! Kerap kali benar lebih suka memotret! ***
*) Kutipan-kutipan surat Kartini diambil dari buku Kartini: Surat-Surat
kepada Ny. R.M. Abendanon-Madri dan Suaminya, terjemahan Sulastin
Sutrisno, cetakan ke-3, Seri Terjemahan KITLV-LIPI, Penerbit Djambatan,
Jakarta. 2000.
0 komentar:
Posting Komentar